Minggu, Desember 27, 2009

Korupsi-Perilaku-Kita


Sebuah catatan akhir tahun


Setiap jeda hari,
selalu ada waktu lari untuk bertahan hidup
seekor kijang harus berlari kencang, melebihi lari singa tercepat untuk bertahan hidup
seekor singa harus mampu melesat, mendahului rusa terlamban, untuk bisa bertahan hidup.
Baik rusa atau singa,
setiap hari harus berlari, berlari, dan berlari
untuk bertahan hidup...
Sajak  Serengeti
***
Korupsi
Sejarah hidup korupsi setua sejarah hidup manusia. Korupsi adalah bagian diri manusia yang bersifat fujur[i]. Korupsi dalam rentang waktu terus berkembang sesuai dengan kemampuan kita manusia. Jika seorang anak akan korupsi cemilan di kedai, namun ketika ia telah dewasa dan mempunyai kemampuan intelektual lebih, maka ia akan bisa korupsi lebih dari mencuri di warung kecil. Barangkali Kasus korupsi bank Century adalah bentuk peningkatan metode korupsi.
Pemberantasan korupsi untuk Indonesia mendapatkan momentum ketika di bentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada awalnya banyak yang skeptis tentang lembaga ini mampu untuk menciptakan sebuah efek jera bagi perilaku korupsi dan juga koruptor.
Sebagaimana sajak Serengeti diatas bahwa pemberantasan korupsi ibarat seekor singa yang harus mampu meleset, mendahului rusa terlamban, untuk bisa menahan hidup koruptor. Perkembangan korupsi meningkat dengan meningkatnya cara pemberantasan korupsi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Rahmad budi harto[ii] (Republika, 18 Mei 2009) Ketika budaya korupsi sudah mengakar, memberantasnya akan menyisakan rasa sakit yang dalam di sekujur system yang korup.
Semaraknya persoalan korupsi di Indonesia mulai dari jajaran yang paling korup yakni birokrasi, pengusaha dan juga kita masyarakat. Korupsi sebagai sebuah penyakit yang merusak seluruh tatanan kehidupan manusia Indonesia. Korupsi telah menjalar masuk dalam budaya. Korupsi dimana-mana sama saja. Tapi, derajat pengaruhnya pada politisi bervariasi. Infeksinya bisa insedental, sistemik, atau terinstitusi. (Monica Macovei, Penasehat Perdana Mentri Macedonia)
Konteks Indonesia
Hadirnya KPK sebagai sebuah institusi yang melakukan pemberantasan institusi membawa angin cerah untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam beberapa tahun terakhir kepiawaian KPK dalam menyeret Mantan pejabat setingkat mentri, anggota DPR, Bupati, Walikota dan pengusaha yang diadili di sidang Tindak Pidana Korupsi menampakkan kedigdayaan.
 Kasus Bank Century adalah pembuktian bagaimana korupsi itu di lakukan dengan cara yang sistematis, melibatkan banyak orang dan juga cerdas. Pada zaman pemerintahan B. J Habibie digunakan metode pembuktian terbalik. Banyak pejabat yang dipenjara dengan dugaan kasus korupsi. Seiring pergantian Presiden Abdurrahman Wahid dan Kemudian Megawati Soekarno Putri, degung Peberanasan korupsi redup dan tida terdegar lagi kinerja dan sepak terjang komisi ini. Banyak pertanyaan dan pernyataan bahwa komisi ini hanya menghabiskan dana Negara dan juga sebagai sebuah scenario untuk pencitraan pejabat atau pengelola Negara.
Pertukaran kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla memberikan angin segar dan komitmen pemberantasan korupsi. Jejak-jejak penangkapan, pencidukan dan penyidangan berjalan sesuai dengan harapan. Ekpetasi masyarakat akan kinerja KPK meningkat. Namun ketika habis duet SBY-JK dan di gantikan SBY-Boediono terjadi sebuah kecelakaan fatal KPK. Penetapan Antasari sebagai tersangka pembunuhan. Isu kriminalisasi KPK dengan penangkapan Bibit dan Candra yang kemudian hangat di bicakaran dalam istilah “Cicak vs Buaya”.
Dalam selang kasus Cicak & Buaya, persoalan Bank Century menguat kepermukaan dengan menyeret mentri keuangan Sri Mulyani dan juga mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Pembuktian ini terjadi di sidang Mahkamah Konstitusi. Kasus ini kemudian menjadi sebuah gebrakan oleh beberapa orang dan menjadi hak angket DPR.
Sampai hari ini sepak terjang hak angket DPR belum menunjukkan hasil, apakah terjadi sebuah kompromi politik atau sebuah perubahan untuk pemberantasan korupsi. Menyibak kasus Cicak dan Buaya dan Kasus Bank century, Presiden SBY melakukan sebuah pendekatan tidak biasa. Menyelesaikan masalah ini di luar persidangan.
Melihat keluar dan kedalam
Korupsi yang telah menyelimuti budaya pada pemberantasannya membutuhkan pendekatan yang sistematis, menyeluruh dan terintegrasi. Melihat keluar dalam kontek menghujat dan mencaci maka perilaku korupsi dan para koruptor dalam satu sisi memberikan efek jera secara missal. Namun ada hal yang terlupakan bahwa pemberantasan korupsi menjadi sebuah perbincangan, diskusi dan juga dagangan bagi politis, masyarakat, intelektual dan kita sebagai aktivis.
Menohok kedalam, mendedah dan membedah diri dan perilaku. Mempertanyakan nilai-nilai dan prinsip hidup akan muncul sebuah fakta dan realitas bahwa kita adalah pelaku korupsi. Pada wilayah permukaan seakan bahwa terlambat itu biasa, namun efek dari hal kecil tersebut adalah bahwa kita membudakan mencuri waktu. Membudayakan berkompromi untuk kolusi dengan teman-teman bahwa terlambat itu biasa.
Melihat pada aspek beragama dan menjalankan ibadah, seolah terjadi sebuah korupsi dan ini membutuhkan pembuktian dengan standar dan ukuran tertentu. Sekedar contoh bahwa ketika kita solat jum’at dan tidak menunaikan rukun jum’at, datang terlambat, tidak mendegarkan khatib khutbah malah kita tidur[iii]. Ketika itu kita telah melakukan korupsi dalam ibadah. Pada proses berwudhu kita sering melakukan korupsi dengan tidak menyempurnakan poses wudhu. Seperti berwudhunya anak Taman Pendidikan Al-quran yang masih belajar.
Aktivitas akademik juga tidak terlepas dari budaya korupsi. Kebiasaan mencontek jawaban teman ketika ujian. Melihat jimat yang dibuat karna kita tidak mampu menguasai bahan kuliah. Membuat makalah dengan mengcopy paste makalah orang lain lewat search engine tanpa pernah menuliskan sumbernya. Kanibalisasi skripsi, klonong skripsi dan juga pengupahan pembuatan inilah fakta korupsi itu ada di dunia kampus. Inseden yang terbesar adalah melakukan jual beli nilai antara dosen dengan mahasiswa. Mendapatkan nilai berdasarkan kedekatan dan hubungan organisasi.
Penutup

Korupsi adalah persoalan pertarungan kebaikan dan keburukan yang selalu berkompetisi pada tingkat level individual. Peperangan pada tataran nilai, prinsip dan budaya. Berakumulasi dalam perilaku masyarakat dan juga pemegang amanah urusan masyarakat baik sebagai sebuah Negara atau institusi social, organisasi dan juga termasuk kita yang ada di HMI, karna Korupsi Perilaku Kita.
Sebagai penutup tulisan ini saya nukilkan puisi:
Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga.
 Namun hamba juga tak kuat akan panas api neraka.
Maka, berilah hamba ampunan ata dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Agung
(Abu Nawas/ al-Hasan ibnu Hadi al-Hakimi)



[i] Q.S as Syam 7
[ii] Republika, 18 Mei 2009
[iii] Korupsi Jum’atan. Muhammad yunus. www.muhammadyunus.blogspot.com

Tulisan ini disampaikan dalam kajian mingguan di HMI Kom FISIP UT, 27 Desember 2009

Tidak ada komentar: