Senin, Januari 26, 2015

Suara dan Kata Identitas Kita

Pemimpin itu memiliki suara yang menjadi pedoman bagi pengikutnya. Pemimpin itu memiliki kata yang menjadi acuan bagi pengikutnya. Bila tanpa suara dan kata pemimpin itu membutuhkan tangan sebagai pedoman dan acuan bagi pengikutnya.
Maka pilihlah suara dan kata pemimpin yang baik sebagai pedoman dan bukan suara dan kata yang tak baik yang menjadikan kesengsaraan.

Mengamati suara yang bersenandung dari penyanyi menjadikan ia sebagai biduan yang mampu membuat pendengar hanyut dalam bait kata dan irama yang mengiringi. Mendengar suara yang berteriak dari berbagai alat pengeras dengan suara lantang dan kata-kata yang penuh hujatan dan cacian. Membuat pendengarnya marah dan meradang. Mendengar ungkapan bijak dari kearifan dari pembelajaran hikmah menjadikan pendengar mendapatkan kesadaran untuk tidak terjebak dalam perlombaan tikus amarah dan kebencian.

Suara sebagai sebuah anugrah maha pencipta bagi manusia sebagai media penyampai kata. Kata yang kemudian menjadi bahasa. Bahasa yang menjadi identitas setiap orang. Harimau memiliki suara auman yang menjadi ‘kata’ bahwa ia adalah penguasa alam rimba. Gajah memiliki suara yang menjadikan ‘kata’ bahwa ia memiliki otoritas jelajah hutan. Masing-masing binatang dalam alam rimba memiliki suara yang menjadi ‘kata” sebagai sebuah pola komunikasi yang menentukan bagaiman alam rimba bergerak dinamis denan penghuninya.

Kita manusia, juga memiliki suara, ada yang mampu mengolahnya menjadi nyanyian yang indah didengar oleh orang lain. Ada yang mampu menjadikan alat pelacak untuk menentukan seseorang melakukan konspirasi untuk melakukan kejahatan tersistem dan bersama, ini yang digunakan KPK dengan alat sidik suara. Ada yang mampu menjadikan sebagai media penyampai kebaikan dan pencengah dari keburukan. Suara para penyeru kebaikan, guru yang mengajarkan kata pembuka jendela ilmu pengetahuan.

Diantara kita mampu mengubah suara menjadi alat pembakar masa. Menjadi suara-suara yang bukan menentramkan, malah menjadi pemicu kebakaran amarah dan penghumbar cacian demi hujatan. Bagi orang biasa suara dan bersuara adalah bentuk pengungkapan berbagai persoalan demi persoalan seputar kehidupan. Sedangkan suara bagi pemimpin adalah legitimasi untuk mendapatkan hak berkuasa bagi orang banyak.

Suara yang kita berikan bagi pemimpin utama urusan masyarakat Indonesia berubah menjadi kata. Kata pemimpin yang menentukan bagaimana menata dan mengelola intitusi, kementrian, dan juga barangkali sebagai acuan untuk memporak-porandakan Indonesia.

Satu kata dari suara pemimpin akan menjadi kata dan suara bagi masyarakat. Ia menjadi trending topik bagi pengguna media twitter, ia menjadi status di facebook, ia menjadi ulasan dari berbagai sudut pandang bagi penulis berita, penulis warga yang mendarat diberbagai media. Suara sumbang dan tidak jelas yang menafikan keberadaan masyarakat menjadi suara riuh dengan berbagai kata-kata yang kembali kepada pemilik suara yang berkata.

Rakyat adalah pemilik suara. Masyarakat adalah penutur kata. Pemimpin bertugas mengunakan suara dan berkata untuk menjadikan rakyat tepat sebagai pemilik sah suara. Masyarakat mampu berkata baik dan elok dari ucapan kata dari pemimpin. Namun, bila pemimpin memilih suara sumbang dan kata tak bijak, maka ia menjadi suara dan kata masyarakat yang mengikuti dengan 250 juta masyarakat Indonesia.

Seperti pepatah mengatakan, mulutmu adalah harimaumu. Sebab dari mulut seorang pemimpin dan yang dipimpin akan keluar suara dan kata sebagai pedoman dan acuan. Bila acuan itu baik maka ia mampu membawa pedoman berkata dan bersuara baik. Namun bila acuan itu buruk dan sumbang maka ia mampu membawa malapetaka berkata dan bersuara bagi pemimpin dan masyarakatnya.

Maka peliharalah suaramu wahai pemimpin dan masyarakat pemilik suara dan kata. Kata suara dan kata adalah identitas yang menjadi kenyataan kita sebagai manusia. Bekatalah perkataan baik, bersuaralah suara yang anggun nan elok untuk menjadi pedoman dan acuan.

Bersuara dan berkata tanpa mesti membuka tabiat tak elok adalah pertanda kita manusia yang memiliki aturan moral dan agama yang masih melekat dalam diri kita sebagai masyarakat Indonesia.