Sabtu, Oktober 22, 2016

Islamic Center Transformasi Surau?



Perjalanan waktu berlari kian kencang dikhawatirkan akan menggilas sisi kemanusiaan hasil karya cipta mansia sepanjang sejarah. Revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merubah bahkan merombak secara total mindset kita dalam menatap masa depan.

Artinya ukuran usang seakan tak lagi bisa digunakan untuk mengukur segala sesuatunya termasuk dalam mendalami ilmu-ilmu agama. Seperti cita awal didirikannya surau di Minangkabau untuk melahirkan Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Niniek Mamak. Ketiganya berinduk ilmu kepada adagium Adat Basyandi Syarak Syarak Basyandi Kitabullah (ABS/SBK).  

Ulama abad ke- XVI-XVII seperti  Syeh Burhanuddin sepulang dari Mekah mendirikan surau di Ujung Tanjung (Ulakan) Pariaman. Diikuti Syeh Batuhampar Kab 50 Kota Payakumbuh, Koto Berapak Bayang ( Syeh Abdul Wahab), Ipuah Muko-Muko (kini Bengkulu, Calau ( Sijunjung), Sumani Solok.  Canduang ( Bkt /Agam), dan beberapa surau awal/tuo.  

Web dengan genre 3.0 menjadi bentuk baru nyantri, popular dengan istilah “Mukidi” (murid kiyai digital). Pembelajaran keagamaan saat ini, tersedia dengan melimpah. Cukup ketik sejumlah kata kunci. Maka muncul berbagai ulasan dari berbagai pihak, blog, video, slide, buku. Sebagian berasal dari otoritatif keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian berasal dari kemampuan Amati, Tiru dan Modifikasi.

Seakan belajar agama cukup dihadapan layar monitor, hp android. Hampir jarak dan interaksi dapat dibangun dengan demikian cepat dan mudah. Tidak perlu berlama-lama berkehidupan seperti santri di surau atau pondok pesantren dulu.


Trakat madinah, tradisi belajar para ulama dari satu guru kepada guru yang lain. Berlainan tempat dan kedudukan. Masing-masing adalah ahli dalam bidang masing-masing. 

Surau Dulu

Melihat kebelakang bagaimana surau menjadi candradimuka pembentukan karakter regenerasi alim ulama, cadiak pandai dan niniak mamak. Memasuki bagian terdalam untuk mendedah prinsip, nilai-nilai, metode dan budaya. Menjadikan generasi minangkabau pasca kolonialisasi Belanda menjadi entitas kaum terpelajar berkarakter, secara bersama membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan kaum berbeda etnis dan kebudayaan. 

Tradisi belajar surau adalah belajar sampai tuntas. Belajar dari seorang syekh pemimpin surau. Kemudian setelah selesai, belajar kembali sesuai dengan kehendak atau ilmu yang didalami. Syekh Sulaiman Arrasuli. Adalah murid dari berbagai surau-surau tuo. Mulai dari malalo, sugayang, sampai ke Makkah Almukarramah. Sepulang dari Makkah dan belajar langsung dengan Syekh Khatib Alminangkabawi mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. 

Menjadikan santri dari berbagai surau dan guru. Bagian pembentuk karakter dalam rentang waktu panjang. Tidak seperti pendidikan pesantren saat ini selama 6 tahun. Proses belajar seorang santri menyelesaikan pendidikan satu surau, menyelesaikan satu disiplin ilmu dan kemampuan menjelaskan. Atas ridha guru, santri disarankan untuk berguru ke guru lain di surau berbeda.

Perbedaan mendasar dengan pendidikan pesantren adalah menghasilkan standar mutu yang sama, dengan metode yang sama. Pengakuan kemampuan adalah ijazah dan angka-angka. Sedangkan metode surau tidaklah demikian. Proses pendidikan surau membentuk karakter utama. Sebagian ada yang mampu menyelesaikan pembelajaran dari buya dengan cepat, ada yang mesti berpuluh tahun untuk mendapatkan putuih kaji dari guru. 

Sedangkan Ibrahim Dt. Tan Malaka, belajar dari 2 surau di daerah suliki, 1 surau di batuhampa, tempat surau kakek Muhammad Hatta, surau pincuran bawah di Nagari Canduang dan surau bonjol. Kemudian tidak menyelesaikan tahap terakhir yakni bamusajik. Maka, ia mengambil jalan menjadi niniak mamak, sesuai dengan amanah menjadi Panghulu suku Koto dengan gelar Dt. Tan Malaka di Nagari Suliki.

Surau adalah tempat bersama belajar tentang pembentukan karakter dan nilai-nilai tauhid-intelektual-sosial. Tauhid sebagai kerangka dasar membentuk karakter, kemampuan intelektual santri. Kemampuan intelektual ini melahirkan berbagai pemikiran untuk melakukan perubahan social masyarakat. Dari proses belajar di surau, tiga kecendrungan utama alumnus surau.

Pertama, golongan alim ulama. Buya Hamka “Falsafah Hidup” dan “Tasawuf Modren”, Syekh Sulaiman Arrasuli, Dr. Abdul Hamid Hakim.

Kedua, golongan cadiak pandai. Dr. Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, H. Agus Salim

Ketiga, golongan niniak mamak. Ibrahim Dt. Tan Malaka, Syarifuddin prawiranegara. M. Asaad,

Metode surau telah mampu menciptakan generasi emas dan jaringan luas. Perjalanan untuk menjadi buya/guru/syekh adalah perjalanan hidup menempa diri berdiri penuh dalam Tauhid-Intelektual-Sosial.

Penempaan tauhid dalam diri dengan melakukan perjalanan (merantau) dari satu tempat belajar (surau) hidup menetap belajar. Menempa keyakinan pengorbanan menuntut ilmu sebagai sebuah kewajiban. Kemudian belajar mempelajari berbagai ilmu alat memahami alQur’an, Hadist dan realitas kehidupan. Pada akhirnya mendirikan surau dan membentuk masyarakat bertauhid menjalankan syariat Islam secara paripurna.

Telusur tentang rangkaian santri surau dan penambahan surau demi surau dapat menggunakan runut berguru masing-masing ulama diMinangkabau. Dimana sampai saat ini “ranji kaji” diwariskan dalam halaqah surau.
Surau Jembatan Besi menjadi Pondok Pesantren Thawalib Padang Panjang. Surau Parabek menjadi Pondok Pesantren Thawalib Parabek. Surau Baru Canduang menjadi Madrasah Tarbiyyah Islamiyah Canduang. Masing-masing memiliki hubungan guru, kitab-kitab dasar rujukan dan beberapa kitab hasil kajian buya. Masing-masing buya memiliki metode berbeda.

Perbedaan adalah pada perjalanan hidup buya, karakteristik budaya masyarakat dan tantangan kehidupan. Surau adalah tempat belajar berbagai ilmu alat, seperti nahu dan sharaf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu tafsir, ilmu hadist, akhlaq, ilmu tauhid.

Orientasi pembentukan karakter, kemampuan menelaah kejadian demi kejadian dan kemudian diambil kesimpulan tentang hukum (fiqih) dan metode pengambilan hukum (ushul fiqih). Pembelajaran surau tidak terlepas dari kemampuan bermu’amalah (ilmu hidup). Anak surau, belajar berusaha tani, berternak, berdagang dipasar dan hidup bersama masyarakat. Tempat keberadaan Madrasah Tarbiyyah Islamiyah Canduang saat ini adalah Pakan Kamih (Pasar Kamis).

Pondok Pesantren adalah ikhtiar pelaku guru surau dan masyarakat untuk menjawab kebutuhan pendidikan sesuai dengan langgam zaman. Pelabelan oleh Belanda, sekolah di surau adalah sekolah menadah ‘mengemis’ menjadi penguat pembentukan model klasikal, yang sebelumnya model lingkaran di surau utama (masjid). Disamping masjid terdapat surau-surau kecil sebagai tempat santri dan beberapa guru/buya.

Islamic Center

Ihktiar dari Buya HAMKA, mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar secara bersama. Bertempat di Kebayoran Baru adalah perwujudan dari Surau dulu menjadi Surau masa kini (Islamic Center). Menggunakan manajemen organisasi modern. Pengelolaan tanah wakaf, berkembang menjadi pusat pendidikan Islam ditengah kota Jakarta. 

Maka lahirlah Masjid Al-Azhar sebagai pusat utama peribadatan sekaligus tempat kajian bagi masyarakat. Pada masa Buya masih hidup, kajian subuh tentang tafsir melahirkan tafsir Al-Azhar. Kajian ini dimulai dari Q.S Almu’minun. Seiring perkembangan zaman berdiri Lembaga Amil Zakat, lembaga pendidikan dari Paud sampai Universitas Al-Azhar. 

Dr. Muchtar Naim, sosiolog dari Minangkabau ikut serta mendirikan Islamic Center di Kota Padang, Sumatera Barat. Jauh sebelumnya Buya Muhammad Natsir beserta KH. Soleh Iskandar mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Terpadu Darul Falah, Universitas Islam Indonesia, Universitas Ibnu Khaldun, Dewan Dakwah Islam Indonesia. Sebagai upaya melanjutkan substansi surau di era kekiniaan.

Perkembangan Islamic Center saat ini, dikembangkan oleh Organiasi Masyarakat Nahdhatul Ulama, berupa pembelian gereja-gereja di berbagai eropa dan merubah menjadi Islamic Center. Pengembangan Islamic Center sebagai upaya mempelajari Islam berdasarkan ruang lingkup keyakinan (tauhid), ibadah ritual, mu’amalah dan budaya berbasiskan tradisi keIslaman.

Surau sebagai medium pembentukan karakter santri, berupa aspek ketauhidan dalam hidup, kecerdasan emosional, kecakapan intelektual, dan kecakapan sosial kemasyarakatan, belum tergantikan oleh lembaga pendidikan modren berbasiskan pendekatan paradigm matrialisme dengan berbagai pendekatan kurikulum.

Pendekatan pada daya hafal dan uji kemampuan hafalan. Mengakibatkan bentuk model berfikir seragaman. Efek panjang hasil pendidikan terjadi sebuah perpindahan pengetahuan dari buku dan guru terhadap murid. Sedangkan sisi pembentukan karakter dari dialektika dan keteladan guru, hampir tidak terjadi.

Islamic Center sebagai perwujudan Surau dulu, tidak bisa melepaskan diri dari era Digital. Dimana sumber-sumber bacaan, baik kasus demi kasus, perbandingan kajian literature menjadi bahan utama bagi santri dan para guru. 

Secara sistem penguatan tauhid-intelektual-sosial masyarakat terselenggaranya pendidikan terpadu. Mulai dengan kurikulum pendidikan berjenjang sampai perguruan tinggi, Kajian terstruktur berbasis cendikiawan-ulama, online dan offline. Keberadaan Islamic Center dan orang yang terlibat dalam rekayasa social tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. 

Keberadaan Islamic Center, bisa berada dalam kawasan perguruan tinggi, seperti di IPB. Bisa berada di Kawasan Bisnis/Mall seperti Komplek Al-Alzhar yang dekat dengan Blok M. Bisa berada dalam kawasan perindustrian. 

Untuk mewujudkannya ada beberapa pondasi dasar, diantaranya:

Pertama. Teladan pemimpin. Membentuk budaya kesadaran tentang peranan Islamic Center. Hal ini membawa kepada suatu visi bersama secara nyata, nampak dan terukur. Peran ini bisa berasal dari sinergi, ulama, akademisi, pemerintahan, dan masyarakat. 

Kedua. Kepemimpinan cerdas transformatif. Cerdas menjadikan pemimpin mampu menempatkan para ahli dalam bidang masing-masing. Sedangkan pada transformatif tugas pemimpin mengilhami perubahan dan mencapi tujuan bertahap dan terukur. 

Ketiga. Membentuk sistem pendidikan mandiri. Menggabungkan ruh dan metode surau dulu meliputi metode pesantren berbasis realitas kehidupan dimana Islamic Center berada. 

Keempat. Kekuatan sistem finansial. Pengembangan wakaf terpadu dan produktif yang mampu menopang kebutuhan dasar Islamic Center. Bentuk wakaf terpadu dan produktif bisa membangun pasar dengan berbagai kios, lahan pertanian dengan produk organik, perkebunan sekaligus peternakan. 

Kelima. Dukungan Publikasi dan dokumentasi. Islamic Center menjadi tempat rujukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan masyarakat. Jawaban yang tidak sekedar normatif konseptual, namun model terapan tempat belajar, berkonsultasi dan berkalaborasi.

Keenam. Jaringan Islamic Center. Jaringan ini membentuk model merantau para santri, belajar tentang kekhasan masing-masing Islamic Center. Ada yang kuat pada ushul fiqih dan fiqih, yang kuat dalam tauhid dan tasawud dan ada yang kuat dalam mengelela mu’amalat.

Semoga keberadaan Islamic Center yang ada saat ini, menjadi oase dari keriuhan santri “Mukidi” yang belajar tanpa guru berketeladanan, merantau, dan dangkal ilmu dasar dan alat memahami alQur’an, Hadist dan sejarah peradaban Islam. 
Karena beriman dan beramal shaleh tak hanya tulisan, gelar akademik, status social namun ia adalah keseluruhan perilaku pikiran, perbuatan tangan, buah lisan, dan budaya hidup.
Izzatul Islam wal Muslimin.

Selasa, Oktober 11, 2016

Seruan Penyeru, Meneladani Kebaikan


Perbedaan pandangan tentang bagaimana menyelesaikan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara Muhammad Hatta dengan Ir. Soekarno. Membentuk mata air keteladan sejuk dan menentramkan.

Berpegang teguh dengan prinsip keyakinan, Buya HAMKA memilih untuk mundur dari amanah sebagai Ketua MUI. Mengalirkan air kebaikan jernih dan bening akan keteladanan.

Menjaga dari kehancuran atas bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buya Muhammad Natsir menyatukan perbedaan dengan Mosi Integral dalam sidang pleno parlemen. Membagi air keteladanan negarawan.

Berderet keteladanan menyeru dalam keIndonesian majemuk. Tetap berdiri sebagai Bangsa bermartabat. H. Agus Salim dengan sandal kayu ‘tengkelek’ menyentak kesadaran dunia Negara Jajahan Kolonial Belanda telah merdeka. Menyampaikan air keteladanan sampai jauh di panggung multi Negara, Perserikan Bangsa Bangsa.

Sekarang, berIndonesia kita. Berpacu padu antara merawat Indonesia dan menghancurkannya. Narasi Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Narkoba Korupsi Rasis Inlander.

Narkoba memutus generasi. Korupsi membunuh imun Negara. Rasis meluluh lantakkan kemajemukan sebagai sebuah takdir kehidupan. Inlander melumpuhkan jaringan darah Bangsa, dari kepala sampai ujung kaki.

Teladan telah diteladankan oleh peneladan tokoh bangsa. Seruan telah diserukan sampai tepat dihadapan mata lewat berbagai media, termasuk telpon pintar kita. Masanya kita tampil dengan mengambil peran disetiap tempat kita berkarya sebagai masyarakat Indonesia Merdeka, Berdaulat untuk kesejahteraan bersama.

Ibarat benih-benih yang tumbuh di persemaian, menyeruak ke angkasa tinggi. Berkehendak mengembalikan hijaunya hamparan yang telah lama rusak. Menyebabkan erosi berulang, banjir kenestapaan dan kehancuran pelosok di negri Indonesia.

Kita adalah generasi yang telah belajar dan terpejar untuk meneruskan keteladanan negarawan terdahulu. Hidup saat ini, untuk mempersipkan perlanjutan mewariskan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi generasi 2 sampai 5 lapis kedepan.

Sebagai Negara Kedaulatan Republik Indonesia sekaligus Negara Kesejahteraan Republik Indonesia.