Sabtu, Desember 19, 2009

KAPITALISME SPIRITUAL


Berbisnis dalam beribadah adalah sebuah fenomena baru dalam khazanah kehidupan hyper konsumerisme. Muncul dalam pergerakan peningkatan spiritual keagamaan masyarakat gigametropolitan.

Salah satu bentuknya adalah pelayanan dalam berbagai aspek ibadah keagamaan. Ibadah yang berbentuk ritual maupun non ritual. Berbagai ayat coba dijadikan dasar pemikiran dan justifikasi sebagai landasan berpijak.

Dalam sebuah diskusi dengan beberapa teman terdapat sebuah kegundahan bersama dengan munculnya kapitalisme spiritual. Dimana nilai-nilai spiritual di jadikan komoditi dan juga industry yang mempunyai pasar tidak mati. Berbeda dengan pasar yang mengdepankan aspek produk yang tidak berhubungan dengan nilai-nilai spirit. Produk ini mesti menyentuk aspek kebutuhan dalam matreal dan keinginan pewujudan kemudahan hidup.

Ramadahan sebagai sebuah entitas spiritual karna pembentukan karakter nilai bagi kaum muslimin. Dijadikan sebagai sebuah kapitalisasi spiritual. Peningkatan jumlah jamaah yang hadir dalam mesjid dengan derasionilsasi charity menghadirkan wajah-wajah penyejuk dengan bayaran profesi.

Pergerakan barang konsumsi dan juga berbagai produk dan jasa meningkat tajam. Hal ini paradoks dalam nilai ramadhon. Siapakah yang menggerakkan hal ini? Adalah sebuah pelaku kapitalisasi spiritual. Kapitalisasi spiritual membonceng dalam bentuk marketing yang dibungkus kesan spiritual.

Dalam kekosongan dan kehampaan spiritual masyarakat gigametropolitan, lahir lembaga-lembaga yang memberikan bimbingan nilai dengan bayaran ratusan sampai jutaan untuk beberapa hari di hotel berbintang. Dari satu seminar dan pelatihan seakan menjadi kebutuhan dan tidak afdol kalau tidak di tempat penuh glamor.

Menelisik pemikiran Dr. Ali syariati dalam Islam agama protes bahwa ketika agama islam datang bukan agama yang bercengkrama dengan kapitalisme quraisy. Tawaran ini rasul tolak dengan sebuah pernyataan “jika engkau jadikan bukit uhud itu emas maka tidak aku terima”. Nitze yang mengeluarkan pandangan bahwa agama itu candu melihat sebuah persengkokolan jahat antara gereja dengan mereka yang mempunyai kekuatan capital.

Dalam sejarah perlawanan dan revolusi social hadir dalam keterbatasan capital. Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Che Gue Vara, dan beberapa revolusi social tidak menjadikan nilai-nilai spiritual sebagai komoditas.

Bagaimana menurut Anda?

2 Muharram 1431 H, Menteng Jakarta Pusat 8:33 PM

Tidak ada komentar: