Kamis, Februari 11, 2010

Kondektur Tanah Abang Menunggu

Tanah abang, tanah abang, tanah abang, begitu suara yang keluar dari kerongkongan yang kalah oleh kebisingan bunyi bajaj dan juga klakson dari sepeda motor yang merasa terganggu di pemberhentian mobil bus bernomor 916 di halte salemba UI.

Sementara waktu bus berhenti menunggu penumpang yang dengan sedikit berlari mengejar bus untuk dapat berangkat ke tanah abang untuk keperluan berbelanja di pusat perdagangan pakain di Indonesia.

Kopi be, setengah aja, begitu ia meminta segelas kopi di warung babe. Tubuhnya telah tua dan juga banyak tergurat derita menjadi kondektur tua. Dengan baju seragam yang tidak sebagus Direktur utama yang duduk nikmat di ruang berAC dan bukan duduk di bangku belakang ber AC udara jakarta.

Perlahan suara sruput kopi menghilangkan kecapekan yang menggelantung dari perjalanan tanah abang ke jati negara. Terasa dunia nikmat yang hanya mampu di wakili oleh setegah kopi panas buatan babe.

Be ni bayaran kopi yang lama, nga' salah tiga hari yang lalu, maaf ya waktu itu ngak sempat lagi bayar. Dan sekarang aku bayar double, dan jangan lupa rokok sebatang sambu be. Selembar uang 5000 bepindah tangan. Makasih ye. Gimana si "Sopir Berpasak Bangku" udah mendingan die kabarnya ia sakit?
Maka sang kondektur menjawab "Udah baikan biasa be kurang minum maunya yang nikmat melulu, susah diomongin, nga' mau denger.

Ya itulah sekelumit percakapan kehidupan di Kampus Warung Babe salemba UI. Ada rekaman kejujuran hidup dan kepedulian antar sesama untuk sekedar mengetahui kabar berita pelanggan yang sering membeli kopi di sore atau pagi hari mau pergi menarik.

Ketika kami sakit maka kami akan mengobati diri sendiri di bangsa yang katan Undang-undang Dasarnya orang miskin adalah tanggungjawab negara, namun ketika kami minta itu ada mekanisme dan cara yang begini dan begana. Harga yang mahal untuk sebuah transaksi satu suara.

Tidak ada komentar: