Kamis, Februari 25, 2010

Anak Ibu Lapar

Dengan kain selendang yang telah robek di beberapa bagian yang warna telah pudar karna sering di cuci dan digundar di tepi kali yang telah tercemar banyak polusi. Menggunakan pakaian lusuh yang telah lama menemani tubuh yang tidak begitu terawa lagi ketika masih muda dan sedikit seksi seperti artis penyanyi yang lagi beraraksi, namun sayang baju ini tidak bisa digantikan oleh pakaian lain.

Berpacu dengan derap kaki penumpang memasuki gerbong kereta api ekonomi yang akan berangkat dari stasiun Jakarta kota menuju tempat masing-masing sehabis berbelanja, bertemu teman lama, membeli berbagai aksesoris di pasar asemka. Dan juga tidak lupa untuk bertamsya ke taman fatahillah dengan nuansa kota tua. Disana ada ojek sepeda onta tua.

Dari stasiun Jakarta Kota kereta api mejaju ke statisun mangga besar dan sawah besar terus ke gondang dia. Satu dua peumpang turun dan lebih banyak naik itulah ritme penumapang kereta api ekonomi. Satu, dua, tiga dan banyak sampah bertebaran di lantai. Inilah saatnya untuk membersihkan gumamnya dalam hati.

Dengan anak yang di gendong di bagian depan yang terus menangis menahan lapar dan juga terhimpit terjepit oleh kegiatan membersihkan lantai dengan sapu ijuk yang tak bertangkai. Sapu ini lah yang setia menemani beberapa hari membersihkan gerbong kereta api ekonomi.

Regekan di kecil mememacah diantara percakapan rombongan “Anak Gaul Bersama” yang bercerita tentang fashion terbaru yang di rilis sebuah majalah wanita dinamis. Dan suasa bising kereta api diiringi music “Punggawa Nada Kecil” yang menyanyikan lagu "langit sebagai atap rumahku, bumi sebagai lantainya dan kereta api sebagai penghidupan diri, belas kasihan untuk beli nasi": dan Alunan dendang dari “Pendendang Lagu Islami” yang sama-sama mencari kebaikan hati penumpang yang tidak begitu sepi.

“Anak gerbong kereta” ikut dalam rangkaian gerbong yang lagi mencari lahan yang belum bertuan untk di bersihkan. Karna kami mempunyai perjanjian tidak tertulis, hanya boleh satu gerbong satu orang diantra kami juga termasuk “Anak Ayah Gendong”.

Beberapa kali membetulkan selendang yang menopang anak yang terus menangis diirigi dengan ingus yang menucur dari lubang hidung. Seperti cucuran air minum yang masuk ke dalam mulut seorang berbaju necis yang membeli Koran dari “Penjajal Berita Baru”.

Tertulis disana sebuah berita angka kemiskinan menurun sekian persen, dari hasil penyelidakan dan perkembangan kasus century menghabiskan dana milyaran rupiah dengan hasil yang tidak tahu. Dan juga kata dan janji beberapa orang yang mau menyalonkan diri.

Itulah sekelumit berita yang aku baca di headline berita hari ini yang dibaca oleh penumpang berbaju necis yang tidak mau melihat berita kehidupan dan mampu melihat dan memperhatikan berita-berita Koran yang dibuat untuk kepentingan yang kadang membnuh kehidupan kami kaum marginal miskin kota yang menyapu sampah.

Secara perlahan bergerak dan menyapu dengan satu dua mereka memberi untuk dapat membeli nasi atau susu nanti. Aku hanya bisa berbisik dalam hati, “Nak kalau engkau besar nanti jadilah orang yang mengerti tentang hidup berkehidupan atas nurani dan kepekaan hati, jangan engkau hidup menjadi orang yang hanya mengerti bagaimana mengekploitasi dan mengumpulkan sendiri kekayaan sedangkan dirimu ibu besarkan dalam gendongan untuk mendapatkan beberapa rupiah dari belas kasihan orang lain.
Serial tulisan “Jakarta Kota-Bogor”

Muhammad Yunus
Presiden Direktur
Baitul Muslimin MUZAKKI

Tidak ada komentar: