Sabtu, Januari 30, 2010

Gas cinta


Kendaraan melaju dengan kecepatan sampai 170 km/jam di sebuah tikungan yang tidak begitu tajam. Menyalib beberapa kendaraan lainnya di depan yang menjadi kompetitor dalam pertandingan tersebut. Dan pada akhirnya mendapatkan piala yang menjadi kebanggaan team.
Di satu sore di jalan tol sebuh kendaraan melaju dengan kecepatan diatas 140 km/jam. Menelikung menyalip kekanan dan kekiri. Seperti liukan penari di iringi music cachi, dan mesti berakhir di dalam kali, dan penumpangnya meninggal dunia.
Di satu malam, pacuan antar motor anak muda, dengan satu hentakan tangan, motor melaju dengan kecepatan tinggi untuk mendapatkan julukan raja jalanan, namun naas sebuah paku kecil menancap di ban depan dan pengemudinya jatuh dan berbaring menyepi di rumah sakit seorang diri dengan kaki digantung diatas.
Gas adalah instrument untuk mendapatkan akselerasi bagi kecepatan yang dihasilkan dari komprensi minyak, api, dan udara. Dengan tarikan maka akan tercipta daya bakar yang menggerakkan piston dan akhirnya menggerakkan roda dan mewujudkan kecepatan.
Dalam sejarah kehidupan cinta yang ada masing-masing memberikan kecepatan untuk mendapatkan piala ketika kita melakukan kompetisi, atau malah mendapatkan sebuah kata cinta mati, atau mendapatkan luka dan trauma, atau mendapatkan cacat dan kerusakan.
Dikala awal mencintai seorang seakan kita hendak berpacu mendapatkan segalanya dengan kecepatan penuh, menelikung norma, moral dan etika sana-sini.
Dikala ada kompetisi ketika mendapatkan cinta yang ingin di hati, terjadi kompetisi antar pribadi. Pemenang adalah ia yang mampu menjadikannya sebuah piala dengan menyunting menjadi istri.
Namun tidak sedikit yang berkompetisi mendapatkan cinta berakhir dengan tragis, disebabkan oleh keberanian tanpa perhitungan, kenekatan tanpa perencanaan.
Sudakah kita memainkan gas cinta kita untuk mendapatkan “piala kebahagian” atau “derita berkepanjangan”?

Tidak ada komentar: