Senin, Maret 01, 2010

Nyanyian Keroncongan Perut


Allahu akbar Allahu akbar, Allahu akbar Allahu Akbar, begitu merdu suara azan bergema memanggil mereka yang telah terbuai dan terlenan oleh pesoalan dunia. Panggilan cinta yang agung pagi pecinta keangunggan. Panggilan revolusi yang mereka cinta sebuah revolusi. Panggilan rindu yang menderu deram bagi mereka yang sedang di mabuk asmara kepada sang Maha Indah.
Inilah pertanda bahwa sudah saatnya perut ini mendapatkan jatahnya. Karna cukup sudah ia tidak mendapatkan haknya selama sehari. Itu dalam rukun puasa menahan lapar dan haus semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya mentari di waktu magrib. Namun perut ini hanya berisi makan sore kemaren dan tidak sahur karena pembeli ganjalan itu tidak ada.
Karna sudah terbiasa untuk menjadi pribadi yang mampu menahan lapar dan juga terbiasa mendengar nyanyian kriuk yang romantic dengan bass sendawa dari angin maag yang telah lama berdendang dari lagu salsa, dangdut, jaipongan dan barang kali lagu pop melayu ketika berada di kampung melayu.
Mendekatlah ke sebuah mesjid tempat sujud dan rukuknya manusia di kampus mahasiswa salemba UI. Mesjid bernama tokoh ampera angkatan tahun 66 bernama Arief Rahman Hakim. Dengan singap di antrian mereka pekerja, mahasiswa, dosen, pedagang, dan juga pegawai, calon dokter, dokter, antri untuk mengambil wudhu’ sebagai pemenuhan kebutuhan bagi sebagian. Memenuhi keinginan sebagian orang. Memenuhi rasa malu sama teman bagi sebagian orang. Memenuhi ingin di lirik dan di lihat oleh seeorang atau bos.
Maka ketika tangan ini bertemu dan bercengkrama ria ia kemudian menjadi waduk kecil dari air terjun kran yang mengalir deras seperti air terjun besar di lihat oleh semut yang sedang mencari makan di atas dinding dibelakang.
Beberapa saat waduk yang di tahan oleh telapak tangan kiri dan kanan itu pun penuh. Kemudian masuk kedalam goa saluran iringasi pertamanan organ tubuh, iringasi persawahan kehidupan badan. Seakan seperti motor yang telah kehabisan bensin yang hidup kembali. Seakan seperti aki yang mendapatkan casan api. Seperti busi yang telah di bersihkan.
Ada sebuah sensasi nikmat sekali air yang telah menyirami tanaman kehidupan yang menahan dahaga dari terpaan panas kehidupan. Terlihat seperti pohon-pohon yang hampir mati ia perlahan menghijau kembali setelah datang hujan yang menyirami.
Satu, dua dan tiga waduk darurat air mengalir kedalam irigasi tubuh yang telah lama menanti sore tiba hari ini. Kemudian ia melanjutkan dengan membasuh anggota tubuh.
Ia mulai dengan membasuh muka yang telah kusam karena berbedak debu jalanan dari hembusan mobil-mobil cicilan, bus hutangan, motor kreditan, dan asap kendaraan penghasil polusi yang bablas secara standar emisi gas buang.
Kemudian ia membasuh tangan yang dekil, berwana kecoklatan dipunggung yang terus bertemu dengan panasnya sinar mentari. Tangan yang telah banyak melakukan kesalahan sebagai bagian dari kegiatan menjadi pak ogah jalanan, sekali-kali mengojek dengan Ojek BuPaMaNeng. Atau memangging Calon Bu Bidan Cantik. Dan terkadang colek Calon Dokter Idaman yang lagi mau naik Bus Tanah Abang Menunggu.
Kemudian menyapu kepala yang tidak tumbuh lebat hutan rambut di kepala yang telah banyak terbungkus kupluk berwana hijau tua dan warna hitam. Kepala yang hanya bisa berfikir hari ini mau makan apa ya? Karna di Kampus Warung Babe Ngopi, atau Nyusu kena dua ribu.
Kepala yang tidak secedas calon notaris yang manis yang aku lihat di diktat perkuliahannya. Kepala yang tidak seencer calon dokter spesialis kulit, jantung yang kemana-mana membawa steteskop. Kepala yang tidak sepintar calon bidan yang mengerti bagaimana menyelesaikan kelahiran.
Ah yang terpenting kepala ini cukup seperti biji kopi yang mesti di masak dengan api sampai gosong. Kemudian di tumbuk dengan mesin sampai halus dan kemudian di seduh oleh panasnya air hangat yang mampu mengeluarkan aroma terapi, aroma sensasi, aroma kenikmatan.
Kemudian membasuh telinga yang sering mendengar gossip terkini tentang persoalan anak negri yang bertarung sesame politisi. Memperebutkankan harta gona-gini, angket itu ini, kasus ini itu dan kebijakan yang tidak memihak kaum marginal seperti Pertapa Kota, Pengemis Bisu, Pemulung Kebaikan apalagi Sopir Pasak Bangku dengan kondektur tn. Abang menunggu.
Telinga yang telah lelah mendengar beribu janji, analisa sang pengamat yang berbunyi ini dan itu. Pernyataan dan konfrensi press di media nasional ini dan itu. Ulasan berita presenter berita televise yang suaranya merdu menggelitik, kadang-kadang tajam menohok itu pun hanya sekali-kali.
Lebih baik selesaikan cepat membasuh kaki yang telah kumal dengan debu-debu dari perjalanan kaki menelusuri ruas jalan jalan cikini, RSCM tempat merawat badan yang sakit ini, sakit itu, sakit gini, sakit gigi sampai yang sakit hati atau tidak tahu sakit apa yang di namakan dengan sakit aneh hari ini. Karna butuh penelitian ini dan analisa laboratorium terkini.
Selesai sudah. Dan ternyata banyak yang pada ngantri membasuh organ badan yang telah kotor oleh banyak persoalan yang mereka sendiri mampu bercerita nanti.
Maka bergegaslah masuk mesjid dengan cukup di temani oleh air kran mesjid Arief Rahman Hakim menjelang nanti mendapatkan kebaikan para teman para pedagang di depan satu goreng dari Penjual gorengan. Satu mangkok ketoprak dari Penjual ketoprak. Satu Otak-Otak dari penjual Otak-Otak. Satu Roti dari penjual Roti dan satu Bubur biji salak dari penjual bubur biji salak. Begitu pikiran melayang ketika imam sedang membaca Surat Alhakumuttakasur hatta zur tumul maqabir.
Karna perut ternyata hebat bernyanyi keroncongan untuk bertahan hidup di jalanan Jakarta yang ganas menghempaskan seperti debu jalanan.
Serial Tulisan “Kampus Warung Babe” Salemba UI.

Tidak ada komentar: