Kamis, Maret 04, 2010

Anak Ayah Gendong

Satu persatu sampah plastic makanan ringan itu mengikuti gerakan kedepan dari lambaian sapu yang tidak seberapa panjang. Sapu yang panjangnya tidak lebih dari 40 sentimeter yang telah lama menjadi sahabat setia sampah yang ada di gerbong kereta. Bentuknya yang tidak lagi bersih pertanda bahwa ia telah sangat lama di gunakan dan selalu digunakan.

Sampah plastik makanan yang di makan oleh seorang anak muda adalah sisa yang tidak berharga. Menjadi sampah bagi kehidupan, menjadi persoalan bagi orang lain. Menjadi kebijakan bagi pengambil kebijakan di kota dan juga aparatur pemerintahan.

Begitu nikmat isi dari kantong plastic tersebut. Di goyang oleh lidah ke kiri dan kekanan beberapa kali, dikunyah oleh graham yang kokoh yang menjadi mesin penghancur yang sempurna. Maka seperti itulah paradoks atau sapu yang melambai ke kiri dan kanan beberapa kali. Mengunyak kemiskinan kapasitas, kualitas, kempatan dan pilihan untuk mampu menjadi orang yang lebih bermartabat di sisi manusia dan Allah swt.

Sret-sret sampah itu bergerak seperti pembersih kaca mobil ketika hari hujan atau kabut yang menghalangi pembawa mobil untuk tidak celaka dengan menabrak orang atau keluar dari jalur. Gerakan inilah yang menjadi pertanda bahwa sang sapu menyelamatkan bagian dari sedikit iman yang di jabarkan di oleh yang kita kadang tidak anggap sebagai seorang yang layak di hargai.

Penghargaan kita hanya mampu memberikan sampah, dari hasil makanan yang isinya telah masuk dalam perut kita. Perut berisi makanan yang bertemu dengan makanan lainya hampir setiap hari dan setiap waktu. Menyisakan sampah sampah yang dibersihkan oleh orang-orang tertentu.

Seorang bapak berumur 40 an berjalan dengan kapala di tekuk, hari ini distasiun citayem para penumpang berpacu menaiki kereta api. Berpacu untuk tidak ketinggalan kereta. Karna ketika ketinggalan kereta maka pekerjaan yang lain akan tertunda. Kemarahan jurangan, bos, menejer dengan memotong uang transport dan uang makan hari ini.

Maka kita akan tidak mendapatkan deal bisnis. Calon mitra akan kecewa berat dengan keterlambatan kita. Ketika ia kecewa maka sepersekian dari nilai transaksi tidak bisa membeli makanan yang di kunyah di perjalanan kereta api yang sampahnya di buang.

Sampah ini adalah tambang emas dan juga sumber penghasilan sang Bapak. Berperawakan kurus dengan tulang pipi yang terlihat jelas di warna kulit yang kecolatan di balut oleh debu-debu kehidupan yang singgah di sepatu, sandal, dan dibawa sang angin menpemel lembut di wajah tua yang tidak seharusnya seperti sekarang yang lebih kelihatan tua dari umurnya.

Dengan wajah sekali-kali menengadah sambil menaikkan tangan seperti kita berdo’a atau seperti anak kita minta uang jajan. Ia melihat dengan mata sayu dan belas kasihan. Meminta melebihi sebuah balas jasa seribu, dua ribu atau uang recehan yang sering kita sia-siakan dengan menarok sembarangan.

Satu dua penumpang sudah terbiasa dengan hal ini. Masa bodoh dan biarkan saja mereka begitu. Peduli apa dan bagaimana? Sekali-kali nantilah di kasih uang seribu. Karna mereka akan tetap selalu begitu. Ada juga yang bergumam ini kan tanggungjawab pemerintah kata “laki gagah kerja” yang hari ini mesti berangkat kerja yang berjanji dengan “Cewek Nyantik Juga” bertemu di perjalanan kereta api yang sama karena mereka “jatuh cinta di kereta”.

Namun, seribu dua ribu sebanyak 20-30 lembar telah mampu menjadi ia bisa makan dengan beberapa orang yang menjadi tanggungjawab untuk di hidupi. Karna nanti juga ada pungutan dari yang mengaku “Preman Necis Gagah” yang bekerjasama dengan “Pamsus Nyegir Marah” yang mengetahui bahwa tetap menyapu di kereta api Jakarta Kota-Bogor.

Di gendongan bergelayut manja seorang anak kecil. Anak zaman yang besar dalam gendongan sang Ayah. Ikut melihat bagaimana manusia bergerak, bercerita, bercengkrama, membaca, tertidur, berbicara entah dengan siapa.

Mengucapkan sekian juta, sekian fee untuk saya. Biasalah dapat memang sedikit kalau sekarang proyek mah telah banyak yang mesti di sisihkan. Banyak kata-kata yang masuk dan terekam jelas dalam sorot mata yang bening ingin berkata dan menyatakan.

Sayalah anak zaman yang kalian tindas dengan tidak berperikemanusiaan lewat kebijakan, lewat pendidikan, lewat transaksi belanja yang tidak membeli hasil bumi dekat kami tinggal. Karna uang lebih senang di belanjakan di mal dan juga pasar modern. Membeli produk yang kalian buang sisanya sebagai sampah yang ayahku sapu dan meminta belas kasihan kepada kalian.

Sayalah anak ummat yang di sia-siakan oleh ummat yang selalu katanya sujud dan rukuk di “Mesjid Institusi Pengemis” dan tidak menjadi “Mesjid Rumah Kaum Dhuafa” karna kami telah terbiasa menjadi penginap “Hotel Emperan Mesjid” dan tidak bisa menjadi penghuni “Hotel Bintang 27” seperti “Pengawai Rumah Allah” yang senantiasa bisa bertafakkur.

Membaca dan mendalami ilmu agama yang ustadnya hanya menjadi “Penyeru Agama Bayaran” dan tidak lepas dari “Anjing Agama Menyalak”. Akulah anak ummat yang akan meminta pertanggungjawaban kalian ummat yang terlupakan bagaimana kasih Rasulullah terhadap kalian.

Sayalah anak kehidupan yang akan menggetarkan peradaban. Dengan sapu-sapu yang dapat menyapu seperti angin topan. Menyapu seperti gelombong tsunami. Menyapu seperti lahar panas yang keluar dari gunung berapi yang ganas. Menyapu seperti halilintar yang membumi hanguskan banyak peradaban.

Sayalah anak peradaban dan Sayalah anak cultural social yang tidak kalian hiraukan.

Serial Tulisan “Jakarta Kota-Bogor”

Muhammad Yunus

Baitul Muslimin MUZAKKI

Tidak ada komentar: