Kamis, Maret 04, 2010

Wisma Stasiun Tn Abang

Dengan gigi yang tinggal tidak seberapa di depan yang tertingal 2 saja yang nampak, ketika mengunyah daging ayam dari sebuah nasi kotak pemberian seseorang. Ia merobek daging ayam goreng dari lauk nasi kotak.

Rambut yang telah memutih semua, dan hanya tinggal warna kelabu beberapa lembar saja yang di temani oleh raut keriput wajah yang penuh derita, cerita, duka, senang yang terus menemani sampai tua renta.

Ketika malam telah berselimat angin dingin di laju hangatnya selimut uang para penguasa di bank-bank yang selalu ada satpam menjaga. Disini juga ada hangat dari karung goni yang berisi badan kekar pasir yang selalu menemani setiap malam datang.

Perlahan ia bujurkan badan yang amat telah tua renta. Menghuni wisma stasiun tn. Abang selama 6 tahun yang selalu setia. Ketika dingin datang berkunjung hanya ada selimut kain yang menghangatkan. Ketika panas datang bersilaturrahmi hanya ada potongan kardus yang mengipasi.

Dulu adalah cerita yang indah menari-nari di memori ketika masih mempunyai suami yang telah memberikan anak tiga yang telah pergi dahulu kealam baka ketika berumur 2 tahun, 3 dan 4 tahun. Begitu engkau bercerita tentang anak-anakmu.

Satua dua bulir nasi masih menempel di dagunya sambil gigi bergerak seirama lidah yang menghantarkan kekiri dan kekanan untuk di giling oleh graham yang tersisa.

Ketika cahaya dari sorot lampu angkot tanah abang kota dan motor aneka merek dan warna menyorot matamu yang telah terbiasa bisa sendiri. Menerawang melihat polah tinggkah manusia yang masih berlari-lari menawarkan diri. Berlari-lari mengejar banyak mimpi dan angan-angan akan ini dan itu. Berlari dengan tujuan dan kepentingan-kepentingan yang tidak berkesudahan seperti roda-roda yang selalu berputar.

Tidur dengan full AC alami ala wisma stasiun Tn. Abang di campuri wangi pesing manusia binatang kencing sembarangan seperti anjing yang menandakan daerah kekuasaan di sudut-sudut banyak bangunan dan ruangan. Bagi ku cukup sebagai aroma yang telah terbiasa di hidung yang telah menurun fungsinya.

Ku tatap wajah-wajah lelah sepulang bekerja. Berusaha berpacu untuk mendapatkan kereta api yang telah memberikan suara untuk berangkat cepat. Berumur sekitar 25-35 wajah anak-anakku kalau hidup seperti mereka.

Seperti hanya bisa mengenang nasib diri yang sebatang kara seperti jejak rel yang telah pergi jauh meninggalkan kita menuju tujuan hidupnya yang sekarang ada di alam baka.

Dengan kodratmu sebagai manusia tidak gentar dengan membunuh diri, walau kurang tidur dan juga kadang makan kadang tiada dan semua kesenangan hampir tiada. Aku masih bisa menatap ada harapan untuk selalu menjadi orang biasa bukan tunawisma menginap di Wisa Stasiun Tn Abang.

Untuk Nenek Ibu yang telah menawakan makan dengan satu kata "Nak Ayo Makan" seolah engkau melihat wajah putramu yang rupawan kalau ia ada dan di takdirkan hidup. Maka aku tidak terlunta-lunta seperti sekarang ini. Yang entah meninggal siapa yang akan menyelesaikan perkara-perkara perkuburan dan juga entah siapa yang mau menyolatan karna hidup hanya sebatang kara.

Dari Nenek Ibu di bawah tangga Stasiun Tanah Abang yang selalu kita berjumpa hampir 3-4 kali seminggu.

Terima kasih atas pembelajarannya, karna aku baru sanggup menuliskannya sebagai sebuah catattan serial Tanah Abang Menunggu dan di tunggu.

Muhammad Yunus
Baitul Muslimin MUZAKKII

Tidak ada komentar: