Minggu, Maret 20, 2011

Membaca Memerdekan Diri

Sore yang telah menampakkan wajahnya. Matahari telah mulai enggan untuk menyinari bumi yang telah melahirkan banyak kisah dalam kehidupan. Kisah yang menyejarah bagi orang awam, pejabat, wakil rayat, pejuang martabat orang, penjual martabat orang yang bernama kita, anda dan saya. Berlipat-lipat koran memberitakan. Susul menyusul berita mempertontonkan akan aneka kejadian dari hal bencana, derita, karya prestasi dan juga sedikit kebanggaan anak nerti.

Masing masing membawa oleh-oleh diakhir kehidupan yang memenatkan bernama senang, bahagia, gembira, ria atau sedih, duka, kecewa, ajeg dan percampuran rasa. Inilah kehidupan yang selalu hadir dengan dinamika, ada yang masih bisa tertawa diatas kepedihan dan sedikit yang sedih diatas ketawa kebodohan membaca hamparan pembelajaran yang datang setiap saat. Seakan buta dan tidak melihat hamparan pembelajaran.

Telah banyak daya dorong untuk melakukan pembelajaran dengan membaca. Dimulai dari dorong paling indah bernama firman Allah Swt (Q.S Al’alaq 1-5). Ia menjadi perlambang pembelajaran dengan melakukan pembacaan tentang apa yang tecipta. Membaca yang dimulai dari apa yang ada dalam diri kemudian menjurus kepada apa yang ada di bumi.

Kemudian dalam pepatah lebih konkrit disampaikan dalam tutur orang Minangkabau “alam takambang manjadi guru”. Bagaimana alam bergejolak, bergerak memperlihatkan bahwa ia ada menjadi guru untuk dibaca dan ditelaah menciptakan kemerdekaan dari belenggu ketidaktahuan dan keabaian.

Berbagai fenomena kehidupan, bencana yang datang silih berganti menghampiri, kehancuran moral dan perilaku yang seakan tidak berhenti seperti ombak berlabuh kepantai. Seperti kasuh Gayus Tambunan, kriminalisasi KPK, Korupsi beberapa kepala daerah. Pertikaian masyarakat seperti di Tarakan, poso, sambas dan sederet pertistiwa yang semoga kita tidak amnesia dan terkena penyakit alzhaimer tentang dasar pembelajaran.

Membutuhkan sebuah lompatan besar untuk tidak terbelenggu dalam membaca apalagi terpenjara. Membaca untuk memerdekaan namun malah terjerembab dalam membelenggu nurani kemanusian, menumpulkan akal budi, membunuh sikap empati dan mengkebiri kedewasaan bersikap dan tidak memanusiakan manusia.

Lompatan ini mengacu pada rangkaian proses yang terus menerus tanpa henti, kecuali kematian. Ketika kematian datang ia akan menjadi pembelajaran untuk generasi mendatang.

Lahirnya para inspirator ummat manusia, para nabi dan rasul yang dibimbing dengan wahyu dan kemampuan membaca realitas dimana para nabi dan rasul di tugaskan. Muhammad Saw ditakdirkan lahir dalam dinamika kehidupan masyarakat kota, masyarakat berperadaban dengan syair-syair indah namun buruk dalam moral. Kejahatan kemanusiaan bernama perbudakan dan penistaan peran perempuan dalam beberapa lini kehidupan. Dengan sebuah lompatan besar membaca yang memerdekakan di topang oleh wahyu dimulai dengan Iqra mampu menghantarkan peradaban yang mencegangkan.

Para pemimpin besar dunia hadir dengan melakukan membaca memerdekakan diri. Membaca langgam kehidupan yang mampu menggerakkan orang lain untuk merdeka dan berjuang untuk memerdekaan orang lain dari belenggu kerusakan dan kehancuran.

Mahatma Ghandi, Dalai Lama, Nelson Mandela, Malcom X, Soekarno, Hatta, Syahril, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, yang hadir memerdekakan diri lewat membaca lingkungan dimana mereka terlahir dan besar disana. Namun didalam membaca memerdekaan diri tidak sedikit yang menjadi lawan mereka membaca yang membelenggu. Telah banyak catatan sejarah perlawanan perjuangan mereka dari orang dekat, teman, kolega dan masyrakat yang bukan buta membaca.

Beberapa tahapan membaca yang melahirkan lompatan besar dan memerdekakan diri.

Pertama, membaca dengan hati nurani. Kepekaan akan realitas-realitas yang saling berkaitan dan berkulindan satu sama lain. Pertanyaan demi pertanyaan yang tidak hanya melihat apa yang nampak di permukaan semata, namun menukik kedalam dan mendasar. Mencari jawaban dengan mengaktifkan hati untuk menemukan jawaban akan persoalan, permasalahan yang terus melilit kehidupan. Adakah hati membaca ada permasalahan besar yang dihadapi yang merusak kemanusiaan, menghancurkan generasi.

Kedua, membaca dengan akal budi. Penalaran-penalaran yang sistematis dan terstruktur, lewat rangkaian dialektika logika. Tidak hanya sekedar membaca sepintas lalu yang lewat seperti iklan. Membaca dengan bertanya dengan kembali bertanya apakah hal ini menjadi penyebab utama persoalan-persoalan selalu datang ketika satu solusi telah ditemui. Bukan seperti jawaban membakar lumbung padi untuk memusnahkan tikus yang memakan padi.

Ketika, membaca dengan dorongan empati. Tidak berpegaruh apa-apa ketika angka-angka kematian, pengungsi, kehancuran ekonomi dari perilaku korupsi. Malah menjadi tumpul dan terbutakan oleh deratan angka dan aksara. Membaca yang menggerakkan rasa bahwa kita ada dan berada untuk berbuat sesuatu bermanfaat. Bukan membaca yang hanya merating dan mengkalkulasikan angka-angka.

Keempat, membaca dengan berbuat. Mahatma ghandi melakukan gerakan swadesi dengan menanggalkan pakaian kemewahan. Malcom X melakukan orasi dan memimpin gerakan besar dalam menyuarakan kesetaraan. Soekarno melakukan pembelaan dengan membuat pledoi ketika disidang pada pengadilan Belanda. Lewat rangkain perbuatan membaca hidup dan memerdekakan.

Membaca tidak hanya sekedar untuk melihat susunan aksara, namun menjadi sebuah kemedekaan jiwa supaya kita tidak Rabun Membaca, Buta Menulis, Budak Kebodohan dan Pesuruh Keterjajahan. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: