Rabu, November 03, 2010

Sebutir nasi bercerita

Dari sebulir nasi ia mulai bercerita tentang banyak hal. Sebuah episode perjalanan dari berbagai tempat yang terkadang tidak terbayang. Ada kebahagian dan tidak sedikit kesedihan yang datang silih berganti. Namun ia tetap memberi sesuatu untuk layak disyukuri.
Kisah ini bermula sebelum masuk dalam mesin penggiling bernama geraham dan gigi yang di olah oleh lidah yang tidak bertulang, yang terkadang terlupa mengucap sebuah do’a sebagai wujud syukur kepada sang Pencipta.
Sebelum terhadir dalam piring. Perjalanan yang mendebarkan bersama air yang terus menghangatkan diri. Bersama beberapa saat membuat sebuah perubahan mendasar dari bentuk semula bernama beras menjadi nasi. Dengan suhu yang panas atas kebaikan api, air menjadi sahabat dalam perubahan.
Di luar sana terlihat seorang Ibu dengan raut wajah gembira mempersiapkan beberapa lauk pauk untuk menemani kami nanti di dalam piring. Ada bayam yang sedang dicuci. Terdapat potongan bawang putih dan merah yang telah siap untuk bergabung nanti dalam panci. Dengan cekatan dan profesionalitas ia menghadirkan sebuah bentuk pengabdian kepada keluarga yang tercinta. Namun pagi ini ia sedikit terlihat bersedih hati, terlihat dari guratan senyumnya yang tidak begitu indah. Ada kegusaran bahwa beberapa hari ini ia melihat saudaranya tidak bisa menikmati kami, karena di diuji, atau diperingati oleh alam. Bencana stunami dan gunung merapi telah menghancurkan sumber kehidupan.
Berdiam diri dalam periuk yang tertutup rapat. Pada mulanya terasa biasa saja, perlahan ada rasa yang berbeda. Beberapa menit kemudian air terus memberikan rasa yang tidak mengenakkan. Ia mengakibatkan badan ini menggelepar dan bergerak dalam ruang yang sangat panas. Seakan tidak memberikan tempat untuk istirahat sejenak. Apakah ini yang bernama perubahan?
Perubahan itu memiliki hal yang terkadang menyakitkan seperti berada dalam periuk panas. Begitu jugakah dengan beberapa orang yang tidak bertemu dengan kami beberapa hari? atau malah mendapatkan kami dari tong sampah atas sisa yang diakibatkan oleh tidak selera atau loba. Terkadang sedih hati ketika mengetahui kami atau saudara kami yang lain terbuang, namun di tempat lain kami sangat diharap datang.
Namun sebelumnya dalam perjalananku, aku adalah sebutir beras yang sebelumnya bersahabat dengan matahari. Ia memberikan kehangatan berbeda dari air sebelumnya. Dengan cahayanya aku bermandikan panas bersama sahabat-sahabat lainnya di penjemuran. Bermandikan cahaya matahari selama tiga hari, kami berkenalan dengan para pekerja yang dengan sikap mereka yang tidak mengenal lelah membolak-balikkan kami.
Terlihat tetesan keringat mengucur di dahi yang tetap tegar. Setegar batang padi yang tetap tumbuh dan akan menundukkan diri kala ia memiliki sesuatu yang berharga. Ia terkadang mengela nafas dalam untuk mengumpulkan tenaga mendorong kami untuk dikumpulkan di dalam sebuah karung. Ia adalah seorang ayah dari tiga orang anak. Bertempat tinggal yang tidak berapa jauh tempat penjemuran. Ia hidup dengan kesederhanaan dengan mengandalkan upah sebagai penjemur padi.
Hari ini adalah hari terakhir kami bertemu dalam penjemuran, masih kerasan untuk melihat para pekerja membentang kami di terik matahari. Ada kesungguhan untuk mendapatkan upah menjemur dengan beras nanti. Dalam karung kami mesti menunggu semalam untuk mendinginkan tubuh yang telah bermandi matahari, namun terkadang malah langsung masuk dalam mesin penggiling hari itu juga.
Dengan gerobak yang menjadi teman setia mengantar kami dari penjemuran ke dalam sebuah tempat yang tidak begitu besar. Terlihat seperti pasir hisap yang tidak menyisakan apa-apa. Ada ketakutan besar datang menghampiri, apakah tubuh akan terhisap dalam pasir hisap? Aku melihat terkadang ada sebagian orang yang berperilaku seperti pasir hisap, yang menghisap sisi kemanusiaan dan tidak menyisakan nurani.
Terlihat seorang Bapak tua sibuk memencet beberapa tombol dan mengamati bebrapa teman kami yang lebih dahulu masuk dalam pasir hisap. Suara degungan yang memekkan telinga telah menjadikan Bapak mengalami penurunan daya dengar. Degungan mesin yang meraung-raung seperti nyanyiaan banyak kepentingan, hujatan, kritikan dan terkadang keluh kesah kepada pemimpin negeri. Namun ia telah telah mengalami penurunan pendengaran dan tidak bisa lagi membedakan mana keluhan, nasehat atau hujatan.
Dalan pasir hisap ini kami bertemu dengan sejenis alat yang mampu melepaskan baju kami yang kuat menahan panasnya matahari, siraman air hujan. Terasa kesedihan mesti berpisah dengan pakaian yang telah bersama semenjak dalam rahim batang padi di sawah.
Di sawah kami adalah kebanggaan para petani yang dengan telaten semenjak awal merawat kami. Hari demi hari melihat semenjak pagi, siang dan sore hari. Ia mengetahui kapan mesti kami mendapatkan air dan mesti tidak memberikan kami air sama sekali. Kami dipelihara dari rumput-rumput yang mengganggu. Subur dan menghijaunya dedauanan kami mampu mengobati luka hati Pak tani dengan harga kami yang menyakitkan petani atas ketidakberpihakan para pengambil kebijakan.
Disuatu kesempatan kami diberikan nutrisi dan vitamin untuk dapat tumbuh subur. Bentuk kami yang menghijau adalah sebuah ungkapan terima kasih telah dipelihara. Dimasa itu aku berada dalam rahim dalam batang padi. Disanalah kami dipersiapkan untuk tampi kedepan. Ada akar yang tetap setia memberi nutrisi yang disalurkan lewat pembuluh-pembuluh tersusun rapi di batang padi.
Kala mineral dan vitamin mencapai pucuk daun yang terus melambai ditiup angin, ia memasak dengan bantuan sinar mentari yang besinar penuh. Setelah makanan jadi ia kembali mengirim ke akar untuk makan siang, dan tidak melupakan kami yang masih terbungkus dalam rahim. Bentukku yang masih cair berwarna putih susu adalah kebanggaan dari segenap anggota padi.
Perayaan kesuksesan kami ketika telah menjadi bulir-bulir padi adalah dengan merubah warna daun dan batang menjadi kuning yang bercampur dengan warna coklat dan hijau tua. Inilah masa terindah bagi petani, dan juga beberapa teman burung yang sesekali singgah untuk menikmati kami. Namun pada moment inilah perpisahan akan dimulai. Kami akan berpisah dengan sahabat-sahabat terbaik yang saling melengkapi.
Karena hari ini diantara kami ada di piring sebuah keluarga berada makan di restoran padang, warteg, rumah makan pasar atau mall, dan juga ada diantara kami yang hadir di piring para pengungsi gunung merapi, stunami di pagai di kepulauan mentawai, diantara kami ada di depan para petinggi, di depan relawan yang terus membantu pegungsi, dan di depan jutaan orang yang menikmati makan siang bersama kami: Nasi.
***
Selamat menikmati makan siang, semoga kita mengucapkan sepenggal do’a sebagai wujud syukur kala memulai dan mengakhir suapan terakhir.

Tidak ada komentar: