Senin, November 08, 2010

Air Berkisah

Pagi ini aku masih menetes di ujung dedaunan, namun tidak dapat menghilangkan panas tanah yang bergelegar dari muntahan gunung merapi semalam. Kemudian aku terus mengalir kedalam tanah untuk dapat menghidupkan kembali gairah akar. Namun sayang akarpun telah mati, dan dedaunan pun melayu dan tak bergairah lagi ketika disapa mentari pagi.

Entah mulai dari mana aku menceritakan berbagai bentuk perlakuan yang telah kualami dalam kehidupan. Engkau barangkali sering bertemu dan terus saja kamu tidak pernah untuk memiliki kesadaran bahwa aku ada dan menguasai dirimu melampaui separuh dalam hidupmu. Hampir semua liku-liku sel tubuhmu telah kusinggahi berkali-kali, tanpa pernah engkau tahu kecuali sedikit sekali kalau engkau mempelajari anatomi tubuhmu sendiri.

Engkau akan merasakan kesusahan kala aku berkurang dari tubuhmu. Ginjalmu akan amblas kala aku tidak mencukupi mengairi untuk membasuh ginjalmu yang kotor akibat engkau pelit membasahi kerongkoangamu. Dengan alasan bahwa engkau tidak mau repot mesti membuangku di WC umum dan membayar Rp. 1.000,- sekali berkunjung.

Tubuhmu akan lemas dan tidak bertenaga untuk berkoar memberikan berbagai penyangkalan tentang kesalahan dalam kebijakan. Siapapun dirimu, apakah pejabat besar yang mengambil keputusan besar, pejabat sedang yang terkadang memanut dengan pejabat besar. Atau barangkali pejabat kecil yang berjiwa kerdil. Dalam aliranku dalam tubuh siapapun bagiku sama saja. Aku datang dan pergi sesuai dengan tugas dan perananku.

Semoga tidak percuma saja aku mengalir untukmu apakah di lahar gunung yang telah menumpuk untuk diangkut, atau dalam tubuhmu?, karna tetesan demi tetesan kami tidak begitu berpengaruh dalam dirimu. Entah berapa triliyun tetes berlalu dalam tubuhmu dan mengalir membasahi tubuhmu kala pagi dan sore hari.
Engkau masih bisa menikmati membuang diriku di hotel-hotel mewah di luar negri sana. Meminum saudara kami dengan pongah dan terlupa bahwa kami mengalir dari keharuan, kesedihan, kepiluan kala gunung merapi mengeluarkan kami dalam bentuk uap panas yang bercampur dengan debu-debu dan pasir panas. Kami mengalir pilu dan sedih dalam balutan pipi-pipi yang terpapar panas merapi sedangkan engkau terpapar nikmatnya berplesiran.

Teman-temanku juga bercerita bahwa kamu berbahagia dengan menikmati kami yang terbaik di makkah sana. Tahukah engkau kami tetap memberimu kepuasan dan juga kebanggaan untuk membangikannya kepada orang terdekat dengan dirimu. Inilah bagian dari saudaraku yang selalu ditunggu setiap kembali dari tanah suci.

Kemaren aku telah bertemu dengan nasi yang bercerita bahwa banyak kisah perjalan  yang ia lalui. Banyak suka duka kala mesti berpisah dengan teman-teman dan juga batang padi yang telah bersedia berpisah.
Beruntung beberapa masih bisa membasuh mukanya yang telah keruh oleh berbagai kesalahan dan dosa. 
Kuluruh semua kepenatan yang menggayut di wajah yang tidak begitu tampan.Tangan-tangannya yang bergetar hebat kala kusentuh ia membersihkan bagiankesalahan-kesalahannya lima kali sehari yang selama ini ia telah lama tinggalkan. Ia memulai kehidupan baru dan aku meluruhkan semua dalam sentuhan organ wudhunya di sebuah mushalla kecil samping terminal.

Dalam tragedi kehidupan kami memang mematuhi aturan pembuat aturan, kami memang melahap berbagai bentuk di hadapan kami, telah engkau ingat bagaimana aceh kami singgahi, mentawai yang di belai oleh teman kami yang selalu bergerak ketika suruhan itu datang.

Aku juga menetes di pipi pemimpinmu kala menemui para pengungsi, itulah bentuk empati, namun tidak sedikit diantara kamu-kamu mengeluarkan pernyataan sedangkan kami tidak pernah mengalir dari pipimu yang telah kering memeloti berbagai adengan kehancuran demi kehancuran.

Terkadang engkau dengan enteng membuang aku di mana saja tanpa mengenal malu dilihat manusia lain, terkadang dibalik pintu mobilmu yang parkir di jalanan, atau dibalik dinding rumah orang. Kalau untuk kalangan binatang aku masih bisa mengerti tentang meraka yang tidak berfikir.

Aku juga mendapati saudara-saudaraku berada dalam bungkusan yang mahal, kala telah bercampur dengan berbagai tambahan, apalagi telah mengalami fermentasi, diteguk di tempat yang penuh aroma kemaksiatan dan dosa.

Dari langit aku hadir untuk menyirami berbagai belahan bumi, jakarta kami genangi untuk memberikan pembelajaran tanpa pernah kata untuk berhenti. Ya bertahun tahun terus kami genangi, jangan pernah salahkan aku yang terus menyirami, namun salahkanlah perilaku tiap dirimu membuang sampah sembarangan. Menebangi pohon yang terus menerus tanpa pernah untuk coba menanami. Di depan rumahmu saja terkadang tidak ada pohon yang mesti engkau sirami dengan aku.

Di ujung selatan dan utara saudaraku masih tetap setia membeku untuk menahan kehancuran lebih besar. Memang telah ku beri peringatan lewat saudaraku bahwa permukaan kami telah naik dan meneggelamkan pulau-pulau yang tak berpenghuni atau berpengghuni.

Telah kubentang berbagai kisah dihadapunmu, semoga engkau selalu mawas diri kala aku berubah menjadi besar akibat ulah dirimu sendiri, atau mesti mencabut nyawamu.
***

Dari setetes air yang menetes mengenai hidung dikala pagi di perjalanan rumah ke toko. Sarilamak 07 November 2010.

Tidak ada komentar: