Kamis, Agustus 21, 2008

Menanam padi di padang sawah

Semerbak bunga putri malu mekar di pagi hari yang tumbuh di sela-sela rerumputan dan rumput kanji. Diringi nyanyian orkestra burung penghuni Cakua hill. Barabah, murai yang mempunyai bunyi melengking, pipit dan beberapa jenis burung lainnya. 
Pagi itu sebuah teriakan kegembiraan menyerigai dari mulut seorang bocah umur 4 tahunan. Pagi itu adalah hari dimana akan dimulai pertualangan baru di sela-sela hamparan tanaman padi yang tak serentak penanaman. 
Karna cakua hill sebagian besar dikelilingi oleh persawahan yang menghampar hijau dan juga perladangan penduduk sekitar.
Pagi itu embun masih menggantung di dedaunan pohon di hutan, ditumbuhan padi yang mulai menguning, rumput dan pohon.durian depan sebuah rumah yang amat sederhana. Setetes embun menimpa wajah bocah yang berlari dari rumah sebelah ke rumah gubuk sederhana. 
Tidak terasa pagi beranjak menjelang siang. Sorak sorai dan cerita tentang sebuah keinginan untuk menggarap sebuah petak sawah yang berukuran ¼ lapangan sepak bola, yang terdapat di padang sawah.  
Padang sawah adalah sebuah nama kumpulan hamparan sawah yang lusnya hampir 10 hektar. Pagi itu padi di persemaian benih telah di cabut dari semayan[1]. Bocah ini dengan hati senang mulai membantu menebar benih dengan cara melempar dari pembatang sawah. 
Dimana setiap lemparan mesti memiliki penempatan yang baik dan pas, apabila tidak maka penanaman nanti akan mengalami kesulitan.
Si bocah mempunyai panggilan mak namiang[2] pun ingin ikut menaman beserta nenek. Kalau kamu ingin menanam cukup yang dipinggir-pinggir saja” kata nenek kepada mak naming. Karna hari itu mesti selesai untuk penanaman padi di sawah. Nenek asik dengan takok[3]nya sendiri. 
Menjelang tengah hari perut telah keroncongan. Bekal yang dibawa dari rumahpun tak sabaran dinikmati nenek dan cucunya diiringi manisnya air minum, dahaga terasa dikerongkongan akibat terpaan terik panas mentari. 
Namun apa yang terjadi. Cucu yang asik menanam tidak kelihatan. Rasa cemas menggelayuti hati sang nenek. Apakah cucu saya hanyut karna bermain di Bandar? Atau ia pergi ke hutan kecil di sana? Tidak mungkin biasa cucuku akan pamit jika memang ingin pergi. 
Rasa cemas dan harap bersatu padu dalam hati sang nenek. Sambil melihat sekeliling dan memanggil nama sang cucu.
Setelah beberapa lama maka kelihatan sang cucu yang masih asik degan menanam padi. Wajah yang penuh dengan Lumpur akibat kecipratan. Hanya tersisa mata hitam dengan scerela putih yang terlihat dari kejauhan. 
Sekujur tubuh telah tebenam ke dalam Lumpur sawah kecuali kepala dan leher. Sawah tersebut sedalam paha orang dewasa. Neneeeek panggil yunus kepada neneknya yunus di sini nek. Betapa lapangnya hati sang nenek setelah menadapati cucunya masih ada. Karna sawah yang sedalam paha orang dewasa mampu untuk menghilangkan tubuhku yang kecil.
Menaman adalah bagian aktivitas dalam sebuah rangkaian untuk bertani sawah. Tanpa ada menanam tidak di dapati memanen. Sambil bercengkarama dan bercerita, suapan demi suapan memenuhi kebutuhan perut di menjelang siang tersebut. 
Seteguk air mengalir di banda tenggorokan yang kering kerontang. Nenek asik dengan cerita dan ciloteh beliau yang khas.
Matahari tetap setia menyinari kami yang telah menyelesaikan minum kawa. Menanam padi di lanjutkan, namun aku tidak diperbolehkan lagi untuk ikut bertanam. Karna nenek takut nanti aku tengelam di Lumpur sawah yang dalam. 
Seiring satu demi satu tanam padi menamcap di dalam tanah. Aku pun asik dengan melemparkan benih ke tengah petak sawah. 
Mari kita tanam, kelak kita akan memanen apa yang telah kita tanam. Sebuah kata bijaksana yang meluncur dari bibir nenekku.



[1] Tempat pembibitan padi yang akan di tanam di persawahan
[2] Panggilan yang di berikan oleh bapakku
[3] Blok penanaman padi dari ujung keujung

Tidak ada komentar: