Perjalanan
waktu berlari kian kencang dikhawatirkan akan menggilas sisi kemanusiaan hasil
karya cipta mansia sepanjang sejarah. Revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi merubah bahkan merombak secara total mindset kita dalam menatap masa
depan.
Artinya
ukuran usang seakan tak lagi bisa digunakan untuk mengukur segala sesuatunya termasuk
dalam mendalami ilmu-ilmu agama. Seperti cita awal didirikannya surau di
Minangkabau untuk melahirkan Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Niniek Mamak.
Ketiganya berinduk ilmu kepada adagium Adat Basyandi Syarak Syarak Basyandi
Kitabullah (ABS/SBK).
Ulama
abad ke- XVI-XVII seperti Syeh
Burhanuddin sepulang dari Mekah mendirikan surau di Ujung Tanjung (Ulakan)
Pariaman. Diikuti Syeh Batuhampar Kab 50 Kota Payakumbuh, Koto Berapak Bayang (
Syeh Abdul Wahab), Ipuah Muko-Muko (kini Bengkulu, Calau ( Sijunjung), Sumani
Solok. Canduang ( Bkt /Agam), dan
beberapa surau awal/tuo.
Web
dengan genre 3.0 menjadi bentuk baru nyantri, popular dengan istilah “Mukidi”
(murid kiyai digital). Pembelajaran keagamaan saat ini, tersedia dengan
melimpah. Cukup ketik sejumlah kata kunci. Maka muncul berbagai ulasan dari
berbagai pihak, blog, video, slide, buku. Sebagian berasal dari otoritatif
keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagian berasal dari kemampuan
Amati, Tiru dan Modifikasi.
Seakan
belajar agama cukup dihadapan layar monitor, hp android. Hampir jarak dan
interaksi dapat dibangun dengan demikian cepat dan mudah. Tidak perlu
berlama-lama berkehidupan seperti santri di surau atau pondok pesantren dulu.
Trakat
madinah, tradisi belajar para ulama dari satu guru kepada guru yang lain.
Berlainan tempat dan kedudukan. Masing-masing adalah ahli dalam bidang
masing-masing.
Surau Dulu
Melihat kebelakang bagaimana surau menjadi candradimuka pembentukan karakter regenerasi alim ulama, cadiak pandai dan niniak mamak. Memasuki bagian terdalam untuk mendedah prinsip, nilai-nilai, metode dan budaya. Menjadikan generasi minangkabau pasca kolonialisasi Belanda menjadi entitas kaum terpelajar berkarakter, secara bersama membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan kaum berbeda etnis dan kebudayaan.
Melihat kebelakang bagaimana surau menjadi candradimuka pembentukan karakter regenerasi alim ulama, cadiak pandai dan niniak mamak. Memasuki bagian terdalam untuk mendedah prinsip, nilai-nilai, metode dan budaya. Menjadikan generasi minangkabau pasca kolonialisasi Belanda menjadi entitas kaum terpelajar berkarakter, secara bersama membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan kaum berbeda etnis dan kebudayaan.
Tradisi
belajar surau adalah belajar sampai tuntas. Belajar dari seorang syekh pemimpin
surau. Kemudian setelah selesai, belajar kembali sesuai dengan kehendak atau
ilmu yang didalami. Syekh Sulaiman Arrasuli. Adalah murid dari berbagai
surau-surau tuo. Mulai dari malalo, sugayang, sampai ke Makkah Almukarramah.
Sepulang dari Makkah dan belajar langsung dengan Syekh Khatib Alminangkabawi
mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Menjadikan
santri dari berbagai surau dan guru. Bagian pembentuk karakter dalam rentang
waktu panjang. Tidak seperti pendidikan pesantren saat ini selama 6 tahun.
Proses belajar seorang santri menyelesaikan pendidikan satu surau,
menyelesaikan satu disiplin ilmu dan kemampuan menjelaskan. Atas ridha guru,
santri disarankan untuk berguru ke guru lain di surau berbeda.
Perbedaan
mendasar dengan pendidikan pesantren adalah menghasilkan standar mutu yang
sama, dengan metode yang sama. Pengakuan kemampuan adalah ijazah dan
angka-angka. Sedangkan metode surau tidaklah demikian. Proses pendidikan surau
membentuk karakter utama. Sebagian ada yang mampu menyelesaikan pembelajaran
dari buya dengan cepat, ada yang mesti berpuluh tahun untuk mendapatkan putuih
kaji dari guru.
Sedangkan
Ibrahim Dt. Tan Malaka, belajar dari 2 surau di daerah suliki, 1 surau di
batuhampa, tempat surau kakek Muhammad Hatta, surau pincuran bawah di Nagari Canduang
dan surau bonjol. Kemudian tidak menyelesaikan tahap terakhir yakni bamusajik.
Maka, ia mengambil jalan menjadi niniak mamak, sesuai dengan amanah menjadi
Panghulu suku Koto dengan gelar Dt. Tan Malaka di Nagari Suliki.
Surau
adalah tempat bersama belajar tentang pembentukan karakter dan nilai-nilai tauhid-intelektual-sosial.
Tauhid sebagai kerangka dasar membentuk karakter, kemampuan intelektual santri.
Kemampuan intelektual ini melahirkan berbagai pemikiran untuk melakukan
perubahan social masyarakat. Dari proses belajar di surau, tiga kecendrungan
utama alumnus surau.
Pertama,
golongan alim ulama. Buya Hamka “Falsafah Hidup” dan “Tasawuf Modren”, Syekh
Sulaiman Arrasuli, Dr. Abdul Hamid Hakim.
Kedua,
golongan cadiak pandai. Dr. Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, H. Agus Salim
Ketiga,
golongan niniak mamak. Ibrahim Dt. Tan Malaka, Syarifuddin prawiranegara. M.
Asaad,
Metode
surau telah mampu menciptakan generasi emas dan jaringan luas. Perjalanan untuk
menjadi buya/guru/syekh adalah perjalanan hidup menempa diri berdiri penuh
dalam Tauhid-Intelektual-Sosial.
Penempaan
tauhid dalam diri dengan melakukan perjalanan (merantau) dari satu tempat
belajar (surau) hidup menetap belajar. Menempa keyakinan pengorbanan menuntut
ilmu sebagai sebuah kewajiban. Kemudian belajar mempelajari berbagai ilmu alat
memahami alQur’an, Hadist dan realitas kehidupan. Pada akhirnya mendirikan
surau dan membentuk masyarakat bertauhid menjalankan syariat Islam secara
paripurna.
Telusur
tentang rangkaian santri surau dan penambahan surau demi surau dapat
menggunakan runut berguru masing-masing ulama diMinangkabau. Dimana sampai saat
ini “ranji kaji” diwariskan dalam halaqah surau.
Surau
Jembatan Besi menjadi Pondok Pesantren Thawalib Padang Panjang. Surau Parabek
menjadi Pondok Pesantren Thawalib Parabek. Surau Baru Canduang menjadi Madrasah
Tarbiyyah Islamiyah Canduang. Masing-masing memiliki hubungan guru, kitab-kitab
dasar rujukan dan beberapa kitab hasil kajian buya. Masing-masing buya memiliki
metode berbeda.
Perbedaan
adalah pada perjalanan hidup buya, karakteristik budaya masyarakat dan
tantangan kehidupan. Surau adalah tempat belajar berbagai ilmu alat, seperti
nahu dan sharaf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu tafsir, ilmu hadist, akhlaq,
ilmu tauhid.
Orientasi
pembentukan karakter, kemampuan menelaah kejadian demi kejadian dan kemudian
diambil kesimpulan tentang hukum (fiqih) dan metode pengambilan hukum (ushul
fiqih). Pembelajaran surau tidak terlepas dari kemampuan bermu’amalah (ilmu
hidup). Anak surau, belajar berusaha tani, berternak, berdagang dipasar dan
hidup bersama masyarakat. Tempat keberadaan Madrasah Tarbiyyah Islamiyah
Canduang saat ini adalah Pakan Kamih (Pasar Kamis).
Pondok
Pesantren adalah ikhtiar pelaku guru surau dan masyarakat untuk menjawab
kebutuhan pendidikan sesuai dengan langgam zaman. Pelabelan oleh Belanda,
sekolah di surau adalah sekolah menadah ‘mengemis’ menjadi penguat pembentukan
model klasikal, yang sebelumnya model lingkaran di surau utama (masjid).
Disamping masjid terdapat surau-surau kecil sebagai tempat santri dan beberapa
guru/buya.
Islamic
Center
Ihktiar
dari Buya HAMKA, mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar secara bersama. Bertempat
di Kebayoran Baru adalah perwujudan dari Surau dulu menjadi Surau masa kini
(Islamic Center). Menggunakan manajemen organisasi modern. Pengelolaan tanah
wakaf, berkembang menjadi pusat pendidikan Islam ditengah kota Jakarta.
Maka
lahirlah Masjid Al-Azhar sebagai pusat utama peribadatan sekaligus tempat
kajian bagi masyarakat. Pada masa Buya masih hidup, kajian subuh tentang tafsir
melahirkan tafsir Al-Azhar. Kajian ini dimulai dari Q.S Almu’minun. Seiring
perkembangan zaman berdiri Lembaga Amil Zakat, lembaga pendidikan dari Paud
sampai Universitas Al-Azhar.
Dr.
Muchtar Naim, sosiolog dari Minangkabau ikut serta mendirikan Islamic Center di
Kota Padang, Sumatera Barat. Jauh sebelumnya Buya Muhammad Natsir beserta KH.
Soleh Iskandar mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Terpadu Darul Falah,
Universitas Islam Indonesia, Universitas Ibnu Khaldun, Dewan Dakwah Islam
Indonesia. Sebagai upaya melanjutkan substansi surau di era kekiniaan.
Perkembangan
Islamic Center saat ini, dikembangkan oleh Organiasi Masyarakat Nahdhatul
Ulama, berupa pembelian gereja-gereja di berbagai eropa dan merubah menjadi
Islamic Center. Pengembangan Islamic Center sebagai upaya mempelajari Islam
berdasarkan ruang lingkup keyakinan (tauhid), ibadah ritual, mu’amalah dan
budaya berbasiskan tradisi keIslaman.
Surau sebagai medium pembentukan karakter santri, berupa aspek ketauhidan dalam hidup, kecerdasan emosional, kecakapan intelektual, dan kecakapan sosial kemasyarakatan, belum tergantikan oleh lembaga pendidikan modren berbasiskan pendekatan paradigm matrialisme dengan berbagai pendekatan kurikulum.
Surau sebagai medium pembentukan karakter santri, berupa aspek ketauhidan dalam hidup, kecerdasan emosional, kecakapan intelektual, dan kecakapan sosial kemasyarakatan, belum tergantikan oleh lembaga pendidikan modren berbasiskan pendekatan paradigm matrialisme dengan berbagai pendekatan kurikulum.
Pendekatan
pada daya hafal dan uji kemampuan hafalan. Mengakibatkan bentuk model berfikir
seragaman. Efek panjang hasil pendidikan terjadi sebuah perpindahan pengetahuan
dari buku dan guru terhadap murid. Sedangkan sisi pembentukan karakter dari
dialektika dan keteladan guru, hampir tidak terjadi.
Islamic
Center sebagai perwujudan Surau dulu, tidak bisa melepaskan diri dari era
Digital. Dimana sumber-sumber bacaan, baik kasus demi kasus, perbandingan
kajian literature menjadi bahan utama bagi santri dan para guru.
Secara
sistem penguatan tauhid-intelektual-sosial masyarakat terselenggaranya pendidikan
terpadu. Mulai dengan kurikulum pendidikan berjenjang sampai perguruan tinggi,
Kajian terstruktur berbasis cendikiawan-ulama, online dan offline. Keberadaan
Islamic Center dan orang yang terlibat dalam rekayasa social tidak terlepas
dari kehidupan masyarakat.
Keberadaan
Islamic Center, bisa berada dalam kawasan perguruan tinggi, seperti di IPB.
Bisa berada di Kawasan Bisnis/Mall seperti Komplek Al-Alzhar yang dekat dengan
Blok M. Bisa berada dalam kawasan perindustrian.
Untuk
mewujudkannya ada beberapa pondasi dasar, diantaranya:
Pertama.
Teladan pemimpin. Membentuk budaya kesadaran tentang peranan Islamic Center.
Hal ini membawa kepada suatu visi bersama secara nyata, nampak dan terukur. Peran
ini bisa berasal dari sinergi, ulama, akademisi, pemerintahan, dan masyarakat.
Kedua.
Kepemimpinan cerdas transformatif. Cerdas menjadikan pemimpin mampu menempatkan
para ahli dalam bidang masing-masing. Sedangkan pada transformatif tugas
pemimpin mengilhami perubahan dan mencapi tujuan bertahap dan terukur.
Ketiga.
Membentuk sistem pendidikan mandiri. Menggabungkan ruh dan metode surau dulu meliputi
metode pesantren berbasis realitas kehidupan dimana Islamic Center berada.
Keempat.
Kekuatan sistem finansial. Pengembangan wakaf terpadu dan produktif yang mampu
menopang kebutuhan dasar Islamic Center. Bentuk wakaf terpadu dan produktif
bisa membangun pasar dengan berbagai kios, lahan pertanian dengan produk
organik, perkebunan sekaligus peternakan.
Kelima.
Dukungan Publikasi dan dokumentasi. Islamic Center menjadi tempat rujukan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan masyarakat. Jawaban yang tidak
sekedar normatif konseptual, namun model terapan tempat belajar, berkonsultasi
dan berkalaborasi.
Keenam.
Jaringan Islamic Center. Jaringan ini membentuk model merantau para santri,
belajar tentang kekhasan masing-masing Islamic Center. Ada yang kuat pada ushul
fiqih dan fiqih, yang kuat dalam tauhid dan tasawud dan ada yang kuat dalam
mengelela mu’amalat.
Semoga
keberadaan Islamic Center yang ada saat ini, menjadi oase dari keriuhan santri
“Mukidi” yang belajar tanpa guru berketeladanan, merantau, dan dangkal ilmu
dasar dan alat memahami alQur’an, Hadist dan sejarah peradaban Islam.
Karena beriman
dan beramal shaleh tak hanya tulisan, gelar akademik, status social namun ia
adalah keseluruhan perilaku pikiran, perbuatan tangan, buah lisan, dan budaya
hidup.
Izzatul Islam wal Muslimin.