Oleh: Muhammad Yunus,
S.E[1]
Bajaj adalah
angkutan lingkungan di daerah Jakarta. Memiliki warna orange dengan suara yang
menggelegar dan memekakkan telinga. Mencari penumpang dekat pasar-pasar besar
di Ibukota Jakarta. Keberadaan Bajaj sangat membantu transportasi masyarakat
untuk mengangkut aneka keperluan.
Pada tulisan
kali ini Bajaj diambil sebagai sebuah analogi untuk bisa menjelaskan bagaimana
sebuah proses training di Himpunan Mahasiswa Islam. Pentrainingan di HMI
memiliki jenjang dari Latihan Kader I sampai Latihan Kader III. Pertumbuhan LK
seiring dengan pertumbuhan dari organisasi setingkat. LK I adalah kewajiban
dari Pengurus Komisariat. Latihan Kader II adalah kewajiban dari Pengurus
Cabang dan Latihan Kader III adalah kewajiban dari Pengurus Badko dan PB HMI.
Untuk
melaksanakan LK yang menjadi pengatur dan memenaj adalah Badan Pengelola
Latihan mulai dari tingkat cabang sampai PB HMI yang bernama Bakornas BPL. Pada
saat training berlangsung BPL mengeluarkan Surat Keputusan Team Pengelola untuk
melaksanakan pentrainingan.
Pola
pentrainingan yang bergerak stagnan menjadikan hasil out put perkaderan tidak
mengalami peningkatan apa-apa. Malah semakin menurun kualitas dan kuantitas
dari tahun ke tahun. Bajaj yang telah lama digunakan mengalami keausan berbagai
onderdil. Dan mengalami kerusakan dimana-mana. Terkadang tidak memiliki suku
cadang dan terpaksa di kanibal[2].
Supir Bajaj
adalah orang yang ahli membawa bajaj. Dalam training disebut dengan Master Of training.
Seorang master of training mengelola tiga roda utama pelatihan. Yakni Peserta
pelatihan yang merupakan warga belajar dari berbagai daerah jika pada LK II dan
LK III, sedangkan pada Latihan Kader I berasal dari berbagai jurusan dan
perguruan tinggi. Untuk roda kedua dan ketiga adalah Panitia Pelaksana dan Team
Pengelola.
Peserta adalah
ban depan yang akan membuka jalan kemasa depan. Sedangkan ban belakang adalah
roda yang mendorong ban depan untuk bergerak maju mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan ini ada dalam aturan Konstitusi HMI khususnya dalam pedoman
perkaderan.
Menarik dari
sebuah Bajaj, dimana ia mampu untuk berjalan mundur. Hal ini sering terjadi
diperkaderan hampir di diberbagai level dan waktu kesempatan. Berjalan
mundurnya ini adalah dimana Panitia dan pengelola yang maju dan mampu menambah
kualitas diri. Sedangkan pada peserta tidak dan malah mengalami pengurangan
kualitas.
Bagi pengelola
membaca dan menganalisa peserta, bacaan dan perkembangan training hari demi
hari adalah kewajiban untuk menjadikan training memiliki standar kualitas mutu
training. Sedangkan bagi panitia belajar bagaimana mengelola sebuah kegiatan
yang berdurasi 6 hari ditambah pra dan sesudah training dengan membuat laporan
pertanggungjawaban.
Roda depan
Bajaj adalah yang akan menentukan kemana arah yang mesti dituju. Jika pada
Latihan kader I maka ia akan menjadi roda depan dalam berbagai kegiatan di
tingkat komisariat dan juga beberapa program kerja di cabang. Setelah itu ia
akan menjadi gada depan kepengurusan di tingkat Komisariat. Sedangkan untuk
Training LK II mereka dipersiapkan menggerakkan organisasi dari tingkat
komisariat, cabang, BPL dan lembaga kekaryaan.
Yang menjadi
persoalan adalah kualitas peserta, pengelola dan panitia yang sering mengalami
pecah ban. Kok bisa? Hal ini tidak terlepas dari kemampuan organisasi mengelola
sumber daya yang dimiliki. Sejarah panjang keberadaan HMI telah menjadi modal
social yang selayaknya menjadikan Bajaj dengan kekuatan Listrik atau
menggunakan energy alternative yang tidak mahal. Sebab BBM sekarang naik dan
menghabiskan banyak sumbe daya.
Sudah saatnya
inovasi dan metode baru diHMI yang mampu menggunakan sumber daya efektif,
efisien dan ramah lingkungan. Jika tidak maka beribu Latihan Kader I, beratus
LK II dan puluhan LK III menjadi “Minyak abih, samba tak lamak” atau “ Kojo co
Kojo, Kobia co Kobia.”